Kebudayaan
Kebudayaan Kita Semakin Tergusur
Sebuah persoalan dalam bidang budaya yang masih mendesak pemahaman
kita ialah mengapa kebudayaan Indonesia sejak tahun 1980-an berada dalam
keadaan kurang mengembirakan, ia semakin tergeser, tergusur, dan
tersingkir dari pusat dan puncak perhatian dan kesibukan kita
sehari-hari. Ini memang bukan persoalan baru, dan memang sudah ramai di
perbincangkan pada awal 1980-an, tapi setiap ada yang mempertanyakan apa
yang saat ini harus di perhatikan dalam sebuah kebudayaan Indonesia,
saya cenderung menunjuk pada tidak lagi mementingkan kebudayaan sebagai
problematika terpenting.
Musim temu budaya daerah sebagai penyangga budaya nasional
bermunculan diberbagai kota seakan-akan budaya kita pada masa ini
menghadapi kemunduran biarpun seorang pakar budaya masih penting.
Seorang pakar budaya pada masa pra-Orde baru mungkin seperti seorang
Iwan Fals, Abdurrahman Wahid, atau Laksamana Soedomo. Pada tahun 1970-an
orang sudah mengeluh tentang kebudayaan, tapi pada waktu itu masih ada
hiruk-pikuk perdebatan dan persaingan yang tak banyak tersisa. Sejauh
itu masih ada yang perlu di pertanyakan terhadap kesadaran akan wawasan
Nusantara yang kadang masih diselimuti oleh chauvinis kedaerahan dan
kebudayaan yang pada akhir-akhir ini akan kembali berona sejarah seperti
ketika berkecamuknya masa renaisance dan aufklarung di benua barat tiga
abad yang lalu. Apabila dengan kian terasanya arus globalisasi
peradaban masyarakat industri maju, yang mengandalkan materialisme dan
membawa wabah konsumerisme, pengusuran mau tak mau pasti terjadi. Banyak
sendi budaya yang ditinggalkan.
Impor, Asing dan Modern
Impor, Asing dan Modern
Diantara masalah itu, antara lain mengenai pemahaman kita tentang
kebudayaan secara umum, khususnya kebudayaan Indonesia atau Nasional,
kebudayaan -kebudayaan daerah dan asing peranan agama, ilmu pengetahuan
budaya, bahkan, sampai pada masalah yang lebih kecil seperti, masalah
minat baca dan sebagainya. Drs HM. Idham Samawi mengatakan, bahwa apa
yang kita rasakan saat ini adalah sebuah kondisi di mana bangsa dan
negara saat ini berada dalam suatu arus yang sangat besar yang membatasi
(marjinalisasi). Kita dapat melihat secara langsung bagaimana petani
terpuruk, buah lokal digusur oleh buah impor, kebudayaan kita tersingkir
oleh kebudayaan asing, dalam kasus kebudayaan, kita melihat dengan
jelas bagaimana anak-anak disihir oleh film-film asing ditengah
ketidakmampuan kita melihat film bagi anak-anak kita. Dalam peta
kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis,
nilai- nilai kebudayaan yang menjunjung tinggi keselarsan (harmoni),
cenderung tersingkir. Sebab, nilai- nilai kebudayaan itu di pandang
kurang relevan dengan kehidupan masyarakat modern.
Masalah merampingnya kebudayaan Indonesia akhir-akhir ini menjadi
perbincangan di kalangan seniman dan budayawan. Hal itu berarti bahwa
sebenarnya kalangan seniman dan budayawan bukan bereaksi menghadapi
realitas dan masalah yang timbul, melainkan mereka sekedar bereaksi
menanggapi masalah dan realitas itu.
Pejabat pemerintah yang punya kompetisi dengan kesenian tradisional
supaya citra negara terangkat dimata dunia dan pencaturan International,
masih berdiri dengan perjanjian (konvensi) lama, negara dan pejabat
negera hanya memfungsikan kesenian Indonesia untuk kepentingan praktis,
karena titik tolak pandangan dan sikapnya masih pada batas bahwa
kesenian tradisional dan modern adalah instrumen kegiatan ritual. Hal
itu tidak membutuhkan perhatian dalam porsi yang besar, yang sama dengan
sektor-sektor kehidupan lain tidakkah jatah untuk kebudayaan hanya 2,7
persen dari ranangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) pada
berita terakhir.
Kebudayaan masih dianggap instrumen yang berfungsi praktis, umpamanya untuk tujuan pelancongan (turisme) bagi peningkatan sumber devisa negara, para seniman yang mengembangkan etos kebudayaan masih bergulat dengan banyak pihak kearah perbaikan kesenian Indonesia di masa depan. Raudal Tanjung Banua mengatakan, bahwa tataran kebudayaan dengan kemungkinan nasionalisme kebudayaan tidak terlalu digali, bahkan cendrung dinibsikan. Akan tetapi dari proyek nasionalisme yang mengotamakan arus negara itu, bangsa-bangsa diringkus menjadi sekedar suku bangsa. Disusun sebuah ruang kebudayaan yang lebih lapang telah dihilangkan, demi kemauan politis. Perlu di pahami kita memperbincangkan tergusurnya kedudukan kebudayaan sebagai suatu pranata sosial. itu tidak membicarakan budaya secara detail.bukan juga nilai budaya masyarakat. Ini perlu ditekankan karena perbincangan tentang tergusurnya peran sosial budaya sering di pahami secara keliru sebagai kritik atau tuduhan terhadap sosial budaya. Seakan- akan gejala ini saya kira merupakan kesalahan pihak budayawan.
Kesalahpahaman seperti itu, merupakan akibat dominasi tradisi
romantisme yang terlalu menekankan aspek individual budayawan dan
nilainya. Mengabaikan kebudayaan sebagai pranata sosial. menyebut nasib
pranata kebudayaan dianggap sebagai serangan pribadi terhadap para
budayawan. Akibatnya, budayawan yang berwawasan sempit menyangkal
terjadinya gejala pengerdilan dan penggusuran kebudayaan dalam
pembangunan. Karena merasa di serang, mereka membela diri dan membela
status quo dengan mengatakan kebudayaan sekarang baik- baik saja, kalau
ada penilaian yang negatif atas perkembangan budaya, maka itu di anggap
sebagai kegagalan atau ketololan para kritikus budaya yang kurang paham
kepada kebudayaan.
Model hubungan inilah, kita menampilkan cara-cara pemahaman yang baru
sebagai paradigama postrukturalisme, dengan melibatkan sebagai disiplin
yang lain, yang kemudian melahirkan pemahaman kebudayaan-kebudayaan
yang bernuansa Islami dan berpegang teguh pada agama itu sendiri.
Kondisi masyarakat Indonesia yang dinamis sebagai akibat hubungan antara
agama dan kebudayaan. Penelitian dan studi kultural perlu ditekankan
untuk dapat memberikan sumbangan yang positif dalam rangka mengungkapkan
latar belakang sosial khususnya yang ada di Indonesia, sehingga agama
dan kebudayaan benar-benar memiliki arti bagi masyarakat luas.
Komentar
Posting Komentar